HPK

Efek Disrupsi: “Besok” Menjadi Hari Ini - Rhenald Kasali

Menyaksikan tayangan Earth 2050 yang diputar oleh saluran televisi BBC membuat saya senyum-senyum.

Bukannya apa-apa, ketika para scientist di berbagai belahan dunia tengah membawa “hari esok” (The Future) ke hari ini, kita banyak menemukan pemimpin, politisi, birokrat, bahkan juga pengusaha dan eksekutif yang masih membawa logika “masa lalu” (The Past) ke dalam pijakan hari ini.

Tengok saja aturan-aturan yang berbelit-belit, cara pandang mereka dalam memberantas korupsi, penanganan UMKM, kampanye-kampanye politik yang mereka lakukan, kata-kata yang mereka ucapkan dalam berbagai spanduk dan video yang kita saksikan dalam kanal Youtube, cara penanganan banjir, metode-metode dalam pertanian, sampai ekspor-impor dan kebijakan di sektor keuangan.

Ketika anak-anak muda sudah berbicara start-up, mereka masih menyatakannya sebagai UMKM. Kita praktis hanya berkutat hari ini untuk hari ini. Bahkan terbelenggu oleh kebiasaan dan cara pandang kemarin untuk solusi hari ini.

Dunia Sudah Berubah

Melalui tayangan Earth 2050 tadi saya mulai paham apa yang tengah dikerjakan para ilmuwan di seluruh dunia. Ketika mereka sudah memasuki dunia dengan penilaian “impact” (apa yang telah kamu hasilkan dan berdampak pada kehidupan), ilmuwan-ilmuwan kampus kita baru saja belajar menulis karya ilmiah agar dimuat dalam jurnal internasional dan di sitasi via Scopus.

Teman-teman PhD saya yang bergelut dalam aneka riset di Jepang, Inggris, Rusia dan Amerika Serikat hanya bisa tersenyum saja ketika ditanyakan karya ilmiahnya. Mereka lebih senang menunjukkan hak paten karyanya ketimbang paper yang dulu dibanggakan oleh profesor kami pada tahun 1990-an.

Seorang ilmuwan menunjukkan karyanya berupa “apartemen” kebun holtikultura sayuran di tengah-tengah kota New York. Sepintas saya melihat kebun-kebunnya tidak layak. Maklum itu berada di tengah-tengah lokasi area industri.

Namun begitu saya memasuki bangunan serupa gudang pabrik di tengah-tengah kota itu, saya menyaksikan sebuah perkebunan sayuran yang berlapis-lapis ke atas, membentuk rak-rak yang sangat efisien. Di dalam setiap rak terdapat ribuan tanaman dari satu jenis sayuran yang tumbuh subur. Tak ada hama pengganggu. Namun ada sinar UV aneka warna, aliran air, dan sejumlah perangkat IT.

Bayangkan, ketika petani kita masih bergulat di daerah pegunungan dengan akses yang rumit dan ongkos angkut yang mahal yang membuat mereka miskin turun-temurun, petani-petani terdidik baru muncul di tengah-tengah kota. Mereka melakukan disruption pangan besar-besaran. Itulah smart vertical agriculture.

Di tempat yang lain saya bertemu para ahli IT yang tengah bekerjasama dengan lembaga kepolisian untuk memetakan kejahatan-kejahatan yang akan terjadi di masa depan. Mereka bahkan sudah memiliki data sampai ke tanggal, hari, jam dan lokasi kejadian.

Segala veriabel, mulai dari cuaca, pendapatan per kapita, lapangan pekerjaan, sampai nafsu libido manusia, mereka masukkan ke dalam big data yang diolah untuk memprediksi kejahatan.

“Yang paling penting bukan kapan akan terjadi dan berapa besar kerusakannya, melainkan bagaimana kami mencegahnya,” ujar teman kuliah saya dulu, yang kini menjadi guru besar di Amerika Serikat.

Kini, saya ingin mengajak Anda melihat apa yang dilakukan oleh para eksekutif dalam dunia bisnis. Ini menjadi menarik karena atas undangan sebuah bank besar yang memiliki kantor pengendali di Singapura, kemarin saya menghadiri seminar tentang disruption di negara kota itu yang diikuti para eksekutif Asia.

Beberapa kali saya melihat asisten-asisten saya menggeleng-gelengkan kepala. ”Gila, mereka sudah sejauh itu meng-eksplore dunia dan membuat hal-hal baru!”

Dalam presentasi-presentasi itu kami melihat dan mendengarkan hal-hal baru yang sedang dikerjakan dalam industri transportasi, konstruksi, pendidikan, industri, bahkan juga mainan anak-anak, logistik, trade, sampai ke retail dan pangan. Semua itu adalah disruption yang mengubah sejarah dan persaingan usaha yang kita hadapi hari ini.

Mereka menyebut nama-nama kota di Indonesia, mulai dari Surabaya, Balikpapan, Manado, Ambon, sampai ke Sorong. Kota-kota yang bahkan belum banyak dikunjungi para sarjana dan mahasiswa kita, ternyata telah dijadikan pasar oleh mereka.

Lantas apa yang dilakukan eksekutif-eksekutif, aparatur-aparatur sipil negara dan pemangku-pemangku kepentingan di negeri kita?

The Past – The Present – The Future

Vijay Govindarajan, ilmuwan asal India mengingatkan saya bahwa dalam menjalankan kehidupan, manusia memiliki 3 sudut pandang yang beragam : The Past, The Present dan The Future.

Kami pun merumuskan sebuah pelatihan yang kami sebut sebagai "Reformulasi Strategi dalam era Disruption". Dan minggu-minggu ini area kerja saya di Rumah Perubahan tengah ramai dikunjungi para eksekutif yang sedang membongkar strateginya. Apakah itu untuk menyusun rencana strategis (renstra) atau sekadar meremajakan RKAP.

Dan begitu kami buka, banyak eksekutif dan CEO yang tiba-tiba menyadari hampir 100 persen karya yang sedang mereka kerjakan sudah benar-bemar ketinggalan zaman. Mereka meyakini telah menjalankan strategi yang hanya cocok dijalankan di masa lalu. Dan itu pasti akan menjadikan mereka sebagai korban dari bencana disruption.

“It was over,” ujar seorang putera mahkota dari sebuah usaha konglomerasi. “Itu hanya cocok di zaman papa,” ujarnya berterus terang di hadapan ayahnya sambil tertawa, yang juga hadir dalam ruangan itu.

Vijay mengingatkan saya tentang tiga dewa yang dikenal dalam keyakinan yang dianutnya di India. Dewa Wisnu, Shiwa dan Brahma. Ini mengingatkan saya pada sebuah upacara di Puri Ubud, tempat kerabat kami tinggal dan biasa saya kunjungi.

Biasanya, saya ditemani oleh keluarga Bali lainnya yang lalu menjadi tempat upacara pernikahan kami di sebuah desa di Sibangkaja, dekat Desa Mambal. Jadi yang satu adalah keluarga raja (Puri Ubud) dan ratunya adalah Keluarga Pendoa (Griya Anyar – Sibangkaja).

Dalam kepercayaan Hindu itu, Wisnu dikenal sebagai dewa pemelihara. Shiwa adalah dewa perusak, sedangkan Brahma adalah Sang Pencipta.

Vijay mengungkapkan corporate strategi sebagai gabungan dari ketiganya. “Seperti Dewa Shiwa, eksekutif jangan takut menghancurkan segala hal yang hanya relevan di masa lalu,” ujarnya. Maksudnya, secara selektif kita perlu menghancurkan metode, alat, teknologi, pendekatan, bahkan tata nilai yang sudah tidak membuat kita produktif lagi.”

“Lalu seperti prinsip Dewa Wisnu, kita wajib merawat yang masih relevan, the existing core. Dan seperti prinsip Dewa Brahma, perusahaan juga harus punya orang-orang berkualitas yang menciptakan masa depan baru,” tambahnya.

Masalahnya, masa depan baru itu tak bisa dihasilkan sebelum kita benar-benar bisa membaca hal-hal baru itu dengan secara selektif membuang hal-hal yang sudah tidak relevan lagi. Kedua, eksekutif biasanya sudah terbelenggu dalam zona nyaman dengan hanya berani menjalankan hal-hal yang sudah ia kenal di masa lalu.

Keluar dari zona nyaman itu butuh keberanian. Mengapa eksekutif senang menjalankan kebiasaan dalam zona nyaman? Jawabnya adalah karena hanya itulah yang ia kenal secara familiar. Sedangkan menapaki masa depan baru, sungguh tidak nyaman karena serba tidak pasti, tidak jelas, dan belum terbentuk. It’s unclear, unsettle and uncertain!

Padahal bagi pesaing-pesaing baru Anda, segala hal yang harusnya berada di hari esok, telah dibawa ke hari ini. Dan dengan gagah berani mereka menjelajahi ketidakpastian yang tidak clear itu. Dan strategi baru di era disruption adalah bertarung di era itu, tetapi tidak di hari esok.

Memangnya Anda sudah siap? 

Jawabannya kita harus siap

** Sumber Foto : nasional.republika

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel